Dinginnya pagi ini begitu menusuk tulang. Awan mendung yang berarak tak sudi untuk meniadakan keagungannya di atas ibukota Jakarta. Mentari tak kunjung mengambil alih angkasa itu. Lembab. Sungguh lembab hingga bau tanah bercampur lumut terasa sungguh menusuk hidung. Bagi spora mungkin inilah karya-Nya utuk memperingan jalan hidupnya. Namun bagi seorang bocah tujuh tahun yang dinaungi sebuah rumah kardus di bawah Jembatan Pasar Ayam tidaklah demikian. Sebutlah dirinya sebagai seorang Cahyo. Hidup bersama adiknya Iin yang masih berumur lima tahun, membuatnya harus mendewasakan dirinya sebelum dewasa. Seperti pisang-pisang muda yang diberi karbit, itulah gambaran hidupnya selama ini. Tubuhnya yang tak lebih dari seratus sentimeter itu sangatlah kurus dengan kulit kelam yang tak beraturan hitamnya. Entah hitam sengatan matahari yang sangat atau hitam borok-boroknya yang membusuk termakan waktu. Rambutnya berantakan dan kotor.Terkadang sarang laba-laba tergantung di sana. Sungguh mengenaskan melihat perpaduan warna kulit dan rambutnya. Kulit wajah yang hitam legam disambut rambut merah akibat terbakar matahari di atasnya. Wajahnya jauh dari kata lucu seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Wajahya yang tirus memamerkan tonjolan tulang pipinya membuatnya terlihat tua di usia mudanya. Ironis. Matanya yang mungil lesu, dihisasi kantung mata yang lebih gelap dari warna di sekitarnya. Pandangan matanya yang redup seperti ingin mengatakan ‘untuk beginikah aku dilahirkan?’
Kakinya yang penuh kutu air melangkah dari kardus besar rokok mallboro yang basah dan cokelat ulah air rembesan hujan di luar rumah kardusnya. Dengan bertelanjang kaki bocah mungil itu mulai mencari-cari sesuatu di atas bangku reyot yang ia temukan mengapung di sungai yang melintasi jembatan beberapa hari lalu. Itulah satu-satunya perabot yang berharga – jika boleh dikatakan seperti itu - yang dapat digunakan untuk terhindar dari basah air luapan sungai ataupun rembesan air hujan. Bukan untuk dirinya, bukan pula untuk Iin, tetapi untuk setumpuk koran yang akan dijajakannya pagi ini. Terdengar bodoh memang. Tetapi itu setimpal daripada ia harus menghadapi Janet, agen koran yang notabene bekas preman di Stasiun Senen itu, tanpa membawa uang gara- gara korannya basah tak terjual. Ditariknya perlahan sebuah koran yang terlihat agak lecek. Republika 18 Maret 2005. Sudah lewat. Ia ambil satu lembar koran itu dan di selimutkannya ke Iin yang meringkuk kedinginan dalam tidurnya. Hatinya miris melihat adiknya yang harus tidur beralaskan kardus yang hampir menyatu dengan tanah becek di bawah jembatan itu.
Walaupun tak ada yang dapat dibanggakan dari rumah kardusnya itu, ia tetap senang menempati tempat berukuran dua meter kali tiga meter itu. Rumah yang tak luput dari basah kala hujan atau sungai meluap. Dan keras layaknya batu saat kemarau datang. Rumah itu kokoh. Begitu setidaknya menurut Cahyo. Ia membuatnya 6 bulan yang lalu, bermodalkan kardus-kardus bekas di Tempat Pembuangan Akhir(TPA) sekitar satu kilometer dari jembatan itu. Untuk menyatukannya pun tak perlu lem powerglue atau pun lem aibon sekalipun. Ia hanya perlu melubangi pinggir kardus dan mengikatnya dengan tali raffia atau bahkan akar-akar kecil yang masih sedikit lembab. Dan akhirnya jadilah.
Cahyo memandangi setiap lekuk wajah adiknya yang oval itu, matanya terpejam sesaat lalu dibalikkan badannya dan menjauh dari sana. Pagi itu mentari enggan tampak. Dan rintik-rintik gerimis bersuka ria membasahi apa saja yang menghalangi jalannya bertemu Bumi. Rumah. Pohon. Tiang jalan. Lampu. Halte. Semuanya, termasuk jalan yang ditapaki kaki kecil Cahyo. Bajunya yang basah meliarkan angin menggigilkan tubuhnya yang kurus. Bibirnya sesekali menggretak tanpa izin. Tangannya kaku tergenggam. Pasrah. Yang terpenting, koran itu telah ditutupinya dengan plastik bermotif belang hitam dan putih yang rapat. Walaupun giginya beradu tak mau diatur, ia cobakan untuk bersuara. Ia paksa mulutnya utuk berteriak-teriak menjajakan koran-koran yang masih tertata rapi di dalam plastik. Tak kurang dari dua jam ia menyelip-nyelip d iantara mobil dan motor yang berhenti di lampu merah. Tapi tak satupun korannya terjual. Wajar karena gerimis, enggan ada pengguna jalan yang mau melihat keberadaan penjaja koran apalagi Cahyo yang pendek itu. Mobil-mobil enggan membuka kaca. Pengendara sepeda motor hanya memperhatikan kapan lampu merah itu berubah hijau. Pastilah yang ada di benak mereka hanya ingin cepat sampai di tujuan. Cahyo yang letih dan pucat itu tak dapat lagi menahan dinginnya pagi yang merambat ke seluruh tubuh. Ia letakkan koran-koran itu di trotoar dan ia biarkan badannya yang kecil bersandar duduk di bawah lampu merah. Kepalanya pusing. Penat. Rasa kantuk luar biasa memaksa matanya tertutup sesaat. Walaupun ia cobakan untuk tetap terbuka rasa kantuknya membuat ia terus menguap dan tertidur…dan…Gelap itu datang…
Tiba-tiba badannya tersentak keras. Sebuah tangan besar dan kuat berhiaskan sedikit bulu yang sangar menarik tubuh kecilnya. Matanya tertutup dan terbuka tidak konstan. Seperti mimpi. Mimpikah? Telinganya seperti mendengar ada yang teriakan, deru mobil, motor, tangisan. Sekali lagi badannya tersentak oleh tangan itu. Ia kaget dan mulai sadar. Ia membuka matanya. Rasanya kantuk yang tadi menghampirinya telah hilang terbawa angin. Namun, seperti tahu bahwa ada yang tidak beres. Ia ringankan langkah dan berusaha lari namun tak sanggup. Ia hanya tersungkur tak berdaya oleh tangan besar tadi. Seorang bapak dengan kumis yang seperti salah satu pelawak yang pernah dilihatnya di koran. Tetapi ia lupa siapa. Bapak itu berbadan besar dan pendek. Tidak terlalu pendek sebenarnya hanya saja perutnya yang seperti menyimpan begitu banyak lemak itu membuatnya tampak lebih pendek. Jidatnya yang jenong begitu orang menyebut dahi yang agak maju membuat bapak itu seperti orang jahat yang ada di lembar pencarian orang yang buron. Cahyo berusaha berontak. Korannya terhambur karena tertendang kakinya. Plastik pembungkusnya robek. Tak apa. Yang ada di pikirannya hanyalah pergi dari bapak berbaju cokelat itu……..Tunggu! Cahyo melihat lagi dengan jelas pakaian bapak itu. Di hilangkannya sesaat niat untuk kabur. Pegangan bapak itu melunak namun saat sudah tahu siapa bapak itu, hasrat untuk kabur justru datang lebih dahsyat lagi. Terlambat. Ia kalah dari polisi itu. Ya, ternyata bapak itu polisi. Karena kantuknya ia jadi tidak sadar siapa bapak itu. Terlebih lagi bapak itu menggunakan jaket kulit legam yang menutupi pakaian dinasnya. Mungkin untuk melindungi badannya dari dingin yang amat sangat saat ia bertugas.
Iin, bagaimana dengan keadannya? Keadaan Iin menjadi pertanyaan besar yang berkecamuk di hati kecilnya. Cahyo terkena razia oleh polisi. Yah begitulah negeri ini. Polisi seperti kucing garong yang siap mencengkram rakyat kecil dan anak kecil seperti nya. Begitu pikirnya. Tak banyak juga yang ia pelajari tentang ilmu pengetahuan alam, bahasa inggris, ato apalah. Asal bisa menghitung ribuan dan sedikit membaca itu sudah lebih dari cukup untuk seorang penjaja koran seperti dirinya. Dan teks latihannya untuk membaca adalah untaian kecil, padat, merayap tulisan di koran. Darisana ia melihat begitu tak adil dunia. Bukan Tuhan yang tak adil tetapi orang yang berada diatas gedung-gedung beratap hijau itu yang tak adil.. Banyak pedagang besar seperti pedaganh hutan, pedagang pulau, pedagang lautan milik negara tidak ditangkap. Tetapi dia yang bahkan pedagang pun bukan. Ia yang hanya penjaja koran kecil-kecilan. Ditangkap. Apa mungkin karena ia pedagang jalanan ini tidak membayar upeti ke pemerintah. Begitu pikirnya. Sejenak ia akhiri pikirannya yang mulai ngawur kemana-mana. Kini ia hanya bisa duduk tegang di bangku dari kayu berderet empat di samping polisi yang sedang mengetik- ngetik dengan alat berisik yang mereka sebut mesin ketik. Tidak terpikir olehnya untuk berbicara dengan sesama anak yang terjaring razia. Pikirannya melambung jauh ke rumah kardusnya yang dingin, ke Iin yang sedang menantinya kelaparan. Biasanya Cahyo akan mendapat upah tiga ribu rupiah per hari. Itu cukup untuk dua air minum mineral yang gelas dan dua roti seharga lima ratus rupiah. Terkadang yang harga seribu pun boleh kalau cukup. Andai sisa, itu berarti ia dan Iin dapat makan sore dengan gorengan seharga lima ratus rupiah untuk berdua.
Lamunannya buyar saat sebuah suara yang berat menggelegar. Meneriaki dirinya untuk masuk ke sebuah mobil yang seperti mobil pengangkut barang. Namun di bagian belakang terdapat sebuah bangku memanjang saling membelakangi menghadap ke jalan. Panas matahari tetap mengenai kulit hitamnya karena penutup mobil yang seadanya. Setelah larut dalam pikirannya tentang Iin tiba-tiba mobil terhenti di sebuah rumah hijau yang menyambung dengan rumah di sebelahnya. Bertuliskan rehabilitasi anak jalanan “orang tua”. Jantungnya berdegup. Akalnya berontak. Cahyo sadar dirinya akan di tinggalkan di sana entah untuk berapa lama. Keringat dingin bercucuran. Kembali ia larut dalam lamunan sampai secara tak sadar sebuah batu bata pembatas taman tertendang olehnya. Badannya goyah. Brukk. Badan kurusnya jatuh tak berdaya. Hampir saja kepalanya itu membentur sebuah dinding pembatas. Lubang. Ia melihat lubang tembok menganga di sana. Sepertinya itu adalah sebuah pintu untuk anjing penjaga. Dibangkitkannya dirinya dan mengikuti semua instruksi semua yang diberikan oleh pemimpin panti rehabilitasi, Bu Ratih namanya.
Malam pun tiba. Tak sanggup ia jelaskan bagaimana cemsnya ia memikirkan Iin. Semua sudah terlelap. Ia perlahan mengintai ruangan. Kakinya jalan berjinjit berirama. Tak seperti jantungnya yang berdegup liar tak terkendali. Ia berjalan menyeret badannya yang lusuh menyisiri tembok. Berjaga-jaga andai ada penjaga yang lewat. Kadang langkahnya lebar. Kadang langkahnya kecil. Hanya pos penjagaan yang perlu ia lewati untuk menuju keluar. Sebelum ke sana ia perlu melewati lorong selebar satu meter yang berbatu batu besar di kanan kirinya. Perlahan ia berjalan zig- zag dari pohon kiri ke pohon kanan dan begitu seterusnya. Menyembunyikan tubuhnya yang mungil. Sedikit lagi. Satpam terlihat sedang menggosok pentungannya. Setidaknya ada kesempatan. Walau sedikit. Tapi bagaimana agar tidak ketahuan. Pikirnya. Lewat belakang pos tidak mungkin. Tembok. Ia tiba-tiba berpikir untuk merayap. Merayaplah ia sambil menahan bunyi napasnya yang tersengal-sengal saking takut. Akhirnya ia berhasil lewati satpam itu. Dan langsung berlari menuju lobang itu. Ya, lubang tadi siang. Sejak melihat lubang itu, sudah terpikir olehnya untuk memanfaatkannya untuk kabur. Ia cobakan kepalanya masuk. Namun kurang besar untuk pundaknya. Teringat olehnya kebiasaan anjing mengorek tanah. Ia pun mengorek tanah di bawah lubang itu. Tangannya berdarah tepat di kuku karena terkadang pecahan beling dan batu bercampur dengan tanah yang basah akibat hujan itu. Setelah cukup ia rasa, ia masuki lubang itu. Berhasil. Ia bangkit dan berlari sekuatnya ia bisa. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Sudah dibayangkannya Iin yang cemas menunggu di depan rumah kardusnya yang ‘nyaman’ akan berlari ke arahnya melihatnya pulang. Brak. Dirinya tersungkur. Sebuah sepeda motor telah berlalu di belokan jalan. Baginya...Gelap datang kembali...
Kakinya yang penuh kutu air melangkah dari kardus besar rokok mallboro yang basah dan cokelat ulah air rembesan hujan di luar rumah kardusnya. Dengan bertelanjang kaki bocah mungil itu mulai mencari-cari sesuatu di atas bangku reyot yang ia temukan mengapung di sungai yang melintasi jembatan beberapa hari lalu. Itulah satu-satunya perabot yang berharga – jika boleh dikatakan seperti itu - yang dapat digunakan untuk terhindar dari basah air luapan sungai ataupun rembesan air hujan. Bukan untuk dirinya, bukan pula untuk Iin, tetapi untuk setumpuk koran yang akan dijajakannya pagi ini. Terdengar bodoh memang. Tetapi itu setimpal daripada ia harus menghadapi Janet, agen koran yang notabene bekas preman di Stasiun Senen itu, tanpa membawa uang gara- gara korannya basah tak terjual. Ditariknya perlahan sebuah koran yang terlihat agak lecek. Republika 18 Maret 2005. Sudah lewat. Ia ambil satu lembar koran itu dan di selimutkannya ke Iin yang meringkuk kedinginan dalam tidurnya. Hatinya miris melihat adiknya yang harus tidur beralaskan kardus yang hampir menyatu dengan tanah becek di bawah jembatan itu.
Walaupun tak ada yang dapat dibanggakan dari rumah kardusnya itu, ia tetap senang menempati tempat berukuran dua meter kali tiga meter itu. Rumah yang tak luput dari basah kala hujan atau sungai meluap. Dan keras layaknya batu saat kemarau datang. Rumah itu kokoh. Begitu setidaknya menurut Cahyo. Ia membuatnya 6 bulan yang lalu, bermodalkan kardus-kardus bekas di Tempat Pembuangan Akhir(TPA) sekitar satu kilometer dari jembatan itu. Untuk menyatukannya pun tak perlu lem powerglue atau pun lem aibon sekalipun. Ia hanya perlu melubangi pinggir kardus dan mengikatnya dengan tali raffia atau bahkan akar-akar kecil yang masih sedikit lembab. Dan akhirnya jadilah.
Cahyo memandangi setiap lekuk wajah adiknya yang oval itu, matanya terpejam sesaat lalu dibalikkan badannya dan menjauh dari sana. Pagi itu mentari enggan tampak. Dan rintik-rintik gerimis bersuka ria membasahi apa saja yang menghalangi jalannya bertemu Bumi. Rumah. Pohon. Tiang jalan. Lampu. Halte. Semuanya, termasuk jalan yang ditapaki kaki kecil Cahyo. Bajunya yang basah meliarkan angin menggigilkan tubuhnya yang kurus. Bibirnya sesekali menggretak tanpa izin. Tangannya kaku tergenggam. Pasrah. Yang terpenting, koran itu telah ditutupinya dengan plastik bermotif belang hitam dan putih yang rapat. Walaupun giginya beradu tak mau diatur, ia cobakan untuk bersuara. Ia paksa mulutnya utuk berteriak-teriak menjajakan koran-koran yang masih tertata rapi di dalam plastik. Tak kurang dari dua jam ia menyelip-nyelip d iantara mobil dan motor yang berhenti di lampu merah. Tapi tak satupun korannya terjual. Wajar karena gerimis, enggan ada pengguna jalan yang mau melihat keberadaan penjaja koran apalagi Cahyo yang pendek itu. Mobil-mobil enggan membuka kaca. Pengendara sepeda motor hanya memperhatikan kapan lampu merah itu berubah hijau. Pastilah yang ada di benak mereka hanya ingin cepat sampai di tujuan. Cahyo yang letih dan pucat itu tak dapat lagi menahan dinginnya pagi yang merambat ke seluruh tubuh. Ia letakkan koran-koran itu di trotoar dan ia biarkan badannya yang kecil bersandar duduk di bawah lampu merah. Kepalanya pusing. Penat. Rasa kantuk luar biasa memaksa matanya tertutup sesaat. Walaupun ia cobakan untuk tetap terbuka rasa kantuknya membuat ia terus menguap dan tertidur…dan…Gelap itu datang…
Tiba-tiba badannya tersentak keras. Sebuah tangan besar dan kuat berhiaskan sedikit bulu yang sangar menarik tubuh kecilnya. Matanya tertutup dan terbuka tidak konstan. Seperti mimpi. Mimpikah? Telinganya seperti mendengar ada yang teriakan, deru mobil, motor, tangisan. Sekali lagi badannya tersentak oleh tangan itu. Ia kaget dan mulai sadar. Ia membuka matanya. Rasanya kantuk yang tadi menghampirinya telah hilang terbawa angin. Namun, seperti tahu bahwa ada yang tidak beres. Ia ringankan langkah dan berusaha lari namun tak sanggup. Ia hanya tersungkur tak berdaya oleh tangan besar tadi. Seorang bapak dengan kumis yang seperti salah satu pelawak yang pernah dilihatnya di koran. Tetapi ia lupa siapa. Bapak itu berbadan besar dan pendek. Tidak terlalu pendek sebenarnya hanya saja perutnya yang seperti menyimpan begitu banyak lemak itu membuatnya tampak lebih pendek. Jidatnya yang jenong begitu orang menyebut dahi yang agak maju membuat bapak itu seperti orang jahat yang ada di lembar pencarian orang yang buron. Cahyo berusaha berontak. Korannya terhambur karena tertendang kakinya. Plastik pembungkusnya robek. Tak apa. Yang ada di pikirannya hanyalah pergi dari bapak berbaju cokelat itu……..Tunggu! Cahyo melihat lagi dengan jelas pakaian bapak itu. Di hilangkannya sesaat niat untuk kabur. Pegangan bapak itu melunak namun saat sudah tahu siapa bapak itu, hasrat untuk kabur justru datang lebih dahsyat lagi. Terlambat. Ia kalah dari polisi itu. Ya, ternyata bapak itu polisi. Karena kantuknya ia jadi tidak sadar siapa bapak itu. Terlebih lagi bapak itu menggunakan jaket kulit legam yang menutupi pakaian dinasnya. Mungkin untuk melindungi badannya dari dingin yang amat sangat saat ia bertugas.
Iin, bagaimana dengan keadannya? Keadaan Iin menjadi pertanyaan besar yang berkecamuk di hati kecilnya. Cahyo terkena razia oleh polisi. Yah begitulah negeri ini. Polisi seperti kucing garong yang siap mencengkram rakyat kecil dan anak kecil seperti nya. Begitu pikirnya. Tak banyak juga yang ia pelajari tentang ilmu pengetahuan alam, bahasa inggris, ato apalah. Asal bisa menghitung ribuan dan sedikit membaca itu sudah lebih dari cukup untuk seorang penjaja koran seperti dirinya. Dan teks latihannya untuk membaca adalah untaian kecil, padat, merayap tulisan di koran. Darisana ia melihat begitu tak adil dunia. Bukan Tuhan yang tak adil tetapi orang yang berada diatas gedung-gedung beratap hijau itu yang tak adil.. Banyak pedagang besar seperti pedaganh hutan, pedagang pulau, pedagang lautan milik negara tidak ditangkap. Tetapi dia yang bahkan pedagang pun bukan. Ia yang hanya penjaja koran kecil-kecilan. Ditangkap. Apa mungkin karena ia pedagang jalanan ini tidak membayar upeti ke pemerintah. Begitu pikirnya. Sejenak ia akhiri pikirannya yang mulai ngawur kemana-mana. Kini ia hanya bisa duduk tegang di bangku dari kayu berderet empat di samping polisi yang sedang mengetik- ngetik dengan alat berisik yang mereka sebut mesin ketik. Tidak terpikir olehnya untuk berbicara dengan sesama anak yang terjaring razia. Pikirannya melambung jauh ke rumah kardusnya yang dingin, ke Iin yang sedang menantinya kelaparan. Biasanya Cahyo akan mendapat upah tiga ribu rupiah per hari. Itu cukup untuk dua air minum mineral yang gelas dan dua roti seharga lima ratus rupiah. Terkadang yang harga seribu pun boleh kalau cukup. Andai sisa, itu berarti ia dan Iin dapat makan sore dengan gorengan seharga lima ratus rupiah untuk berdua.
Lamunannya buyar saat sebuah suara yang berat menggelegar. Meneriaki dirinya untuk masuk ke sebuah mobil yang seperti mobil pengangkut barang. Namun di bagian belakang terdapat sebuah bangku memanjang saling membelakangi menghadap ke jalan. Panas matahari tetap mengenai kulit hitamnya karena penutup mobil yang seadanya. Setelah larut dalam pikirannya tentang Iin tiba-tiba mobil terhenti di sebuah rumah hijau yang menyambung dengan rumah di sebelahnya. Bertuliskan rehabilitasi anak jalanan “orang tua”. Jantungnya berdegup. Akalnya berontak. Cahyo sadar dirinya akan di tinggalkan di sana entah untuk berapa lama. Keringat dingin bercucuran. Kembali ia larut dalam lamunan sampai secara tak sadar sebuah batu bata pembatas taman tertendang olehnya. Badannya goyah. Brukk. Badan kurusnya jatuh tak berdaya. Hampir saja kepalanya itu membentur sebuah dinding pembatas. Lubang. Ia melihat lubang tembok menganga di sana. Sepertinya itu adalah sebuah pintu untuk anjing penjaga. Dibangkitkannya dirinya dan mengikuti semua instruksi semua yang diberikan oleh pemimpin panti rehabilitasi, Bu Ratih namanya.
Malam pun tiba. Tak sanggup ia jelaskan bagaimana cemsnya ia memikirkan Iin. Semua sudah terlelap. Ia perlahan mengintai ruangan. Kakinya jalan berjinjit berirama. Tak seperti jantungnya yang berdegup liar tak terkendali. Ia berjalan menyeret badannya yang lusuh menyisiri tembok. Berjaga-jaga andai ada penjaga yang lewat. Kadang langkahnya lebar. Kadang langkahnya kecil. Hanya pos penjagaan yang perlu ia lewati untuk menuju keluar. Sebelum ke sana ia perlu melewati lorong selebar satu meter yang berbatu batu besar di kanan kirinya. Perlahan ia berjalan zig- zag dari pohon kiri ke pohon kanan dan begitu seterusnya. Menyembunyikan tubuhnya yang mungil. Sedikit lagi. Satpam terlihat sedang menggosok pentungannya. Setidaknya ada kesempatan. Walau sedikit. Tapi bagaimana agar tidak ketahuan. Pikirnya. Lewat belakang pos tidak mungkin. Tembok. Ia tiba-tiba berpikir untuk merayap. Merayaplah ia sambil menahan bunyi napasnya yang tersengal-sengal saking takut. Akhirnya ia berhasil lewati satpam itu. Dan langsung berlari menuju lobang itu. Ya, lubang tadi siang. Sejak melihat lubang itu, sudah terpikir olehnya untuk memanfaatkannya untuk kabur. Ia cobakan kepalanya masuk. Namun kurang besar untuk pundaknya. Teringat olehnya kebiasaan anjing mengorek tanah. Ia pun mengorek tanah di bawah lubang itu. Tangannya berdarah tepat di kuku karena terkadang pecahan beling dan batu bercampur dengan tanah yang basah akibat hujan itu. Setelah cukup ia rasa, ia masuki lubang itu. Berhasil. Ia bangkit dan berlari sekuatnya ia bisa. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Sudah dibayangkannya Iin yang cemas menunggu di depan rumah kardusnya yang ‘nyaman’ akan berlari ke arahnya melihatnya pulang. Brak. Dirinya tersungkur. Sebuah sepeda motor telah berlalu di belokan jalan. Baginya...Gelap datang kembali...
0 comment:
Post a Comment