Pagi ini begitu berbeda. Walaupun jam dinding di kamarku masih menunjukkan pukul 05.30 WIB tetapi, rumah mungil ini, tepatnya rumah kakek nenek ku, telah begitu ramai. Bukan ramai seperti keramaian di pasar atau terminal tetapi, ramai handai taulan saling berbincang di ruang tamu. Sepintas aku mendengar percakapan mereka. Tidak jauh dari berbagai pengalaman dan keadaan satu sama lain di rantau. Tidak semua berbincang memang. Sebagian malah mengantri kamar mandi. Wajar saja keluarga besar dari Tangerang, Solo, dan Surabaya berkumpul semua di rumah berukuran dua puluh kali tiga puluh meter yang hanya memiliki dua kamar mandi ini.
Para kepala keluarga duduk di ruang tamu saling berbalas kata sambil sesekali menghisap rokok mereka. Dapat aku lihat asbak di atas meja ruang tamu tidak luput dari abu rokok mereka. Para ibu sibuk saling membantu menghangatkan ketupat dan masakan lainnya yang sudah disiapkan satu hari yang lalu. Sungguh akrab. Sesekali canda tawa terdengar riuh. Apalagi banyak warga-warga kecil(dibaca: anak-anak kecil) di sini. Tepatnya lima anak balita di sini. Walau tidak banyak yang dapat mereka lakukan. Akan tetapi tingkah mereka terkadang mengundang gelak tawa dari semua yang ada di sana. Sungguh menyenangkan dapat memulai hari dengan begitu banyak kebahagiaan di tengah orang-orang yang berbahagia.
Pagi pun tidak sudi kehilangan momen indah lebaran kali ini. Cuaca begitu cerah. Indah. Masih dapat kudengar kicauan burung-burung kecil yang menempati sangkar di salah satu batang pohon jambu di depan rumah. Suara percikan air terjun buatan di sebelah kanan rumah seperti instrumen alam yang menambah indahnya momen ini. Sesekali suara deru mobil terdengar mengeras dan kemudian mengecil lalu hilang bak alunan biola. Suara gesekan alas kaki beradu saat waktunya tiba untuk kami pergi ke masjid. Aku masih di sini sambil melihat kembali penampilanku di jendela terasku. Pagi ini begitu hijau. Tak hanya alam sekitarku yang masih asri. Hanya saja keluarga besar kami memakai baju yang sewarna, hijau toska. Inilah satu lagi yang jarang kualami di hari biasanya. Aku merasa hawa kekerabatan begitu kental. Seperti kami ini selalu bertemu setiap hari dan bercanda bersama.
Minal Aidin Wal Fa Idzin. Satu kalimat yang selalu menggema di telingaku saat ini. Satu kalimat yang selalu diucapkan mungkin oleh seluruh muslim di dunia untuk mulai meninggalkan tahun yang lama dan menyambut tahun yang baru. Aku di sini sekarang. Berada di sebuah rumah yang tidak terlalu besar namun teduh di tengah kota Semarang yang panasnya bukan main. Aku melepas lelah setelah hampir dua jam sejak pukul 06.30 pagi tadi berada di luar untuk sholat Id dan saling berkunjung ke sanak saudara dan tetangga.
Duduk di atas sebuah bangku plastik mungkin tidaklah terlalu nyaman seperti kursi sofa di rumahku. Namun, cukup nyaman untuk mensirnakan lelahku. Teras ini tidak terlalu luas. Mungkin hanya berukuran empat meter kali enam meter dengan lantai berkeramik hijau lembut. Hanya saja di sinilah momen terpenting itu terjadi. Aku dan keluargaku saling mengucapkan minal aidin wal fa idzin satu sama lain. Bangku yang aku duduki ini adalah bangku yang tadi nenekku duduki saat acara sungkem kami lakukan. Beliau duduk di sini tanpa ada yang menemani di sebelahnya. Kakek sudah tiada sejak tiga tahun lalu. Walaupun begitu masih dapat kulihat seberkas kebahagiaan dan senyum di wajah nenek yang renta. Secara bergilir kami sungkem pada beliau. Dimulai dari anak-anak nenek, termasuk papa. Kemudian dilanjut oleh para menantu, lalu kami cucu-cucunya. Sepintas hal ini tampak biasa. Aku hanya perlu berlutut dan mencium tangan nenekku itu. Tetapi aku merasakan hal yang lebih dari itu. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak dan mata ingin menangis. Saat kusentuh tangan keriput nenek, hal yang tidak biasa terbersit dipikiranku. Nenek begitu baik padaku. Apa aku masih sempat membalas kebaikannya pada waktunya nanti. Aku merasa jahat memikirkan itu. Saat nenek mencium keningku kubiarkan pikiran itu berlalu dengan sendirinya. Yang jelas semua bahagia dan akupun harus bahagia.
Kukembalikan pikiranku ke teras ini. Teras yang setiap sudutnya berdiri kokoh beraneka macam suplir yang indah. Kadang tegak tangkainya, kadang merunduk kekanan atau kekiri mengikuti tiupan angin. Mungkin inilah cara alam saling bersilahturahmi. Pikirku jahil. Berderet tanaman euporbhia dan kamboja mengelilingi setengah dari teras ini. Dari kananku hingga depanku, lalu dibatasi sebuah pot suplir. Bagian yang tak dibatasi euporbhia atau kamboja adalah tempat jalan masuk menuju ke ruang tamu. Hanya selebar satu setengah meter. Di sini tenang dan sejuk. Sangat signifikan dengan jalan raya di depan rumah ini yang panas dengan pasirnya yang bertebangan menyusuri setiap jengkal aspal kering itu. Di depanku berdiri kokoh sebuah pohon jambu batu yang sudah tua. Tahun lalu saat aku ke sini pohon ini sedang berbuah. Namun tidak untuk tahun ini. Setiap alur di batangnya makin menunjukkan betapa tua umurnya. Dahannya bercabang tiga di atas, membuatnya seperti manusia besar yang mengadahkan tangan menyapa yang kuasa. Daun-daunnya yang besar sesekali jatuh menjatuhi jalan berbatu dan euphorbia di bawahnya. Batangnya yang kokoh berongga-rongga menjadi rumah semut-semut merah yang dari tadi berbaris menyusuri pohon jambu batu yang tua.
Aku menundukkan wajahku. Kulihat jalanan berbatu itu tidak lagi sama seperti saat pertama kali kulihat. Batu-batu yang disusun sendiri oleh almarhum kakek saat beliau masih sehat walafiat. Sekarang batu- batu kecil yang tersusun rapi itu telah menyatu dengan lumut-lumut hijau yang lembut. Terlebih lagi di batu-batu yang paling ujung dekat tembok itu. Tempat sebuah pancuran kecil mengairi kolam yang lebih rendah darinya. Bau lumut dan air begitu terasa. Rindangnya pohon membuat lumut menjadi mendapatkan kebebasannya. Percikan air di kolam semakin menyemarakkan suasana.
Aku berlalu masuk ke pintu menuju ruang tamu di sebelah kiri terasku. Ku temukan makanan-makanan kecil tersaji rapi di dalam toples-toples kaca yang lucu dengan tutup berwarna emas berpita di atasnya. Sepintas kulihat kacang mede kesukaanku tersaji di antara toples-toples itu. Ingin kucicipi namun suara ibu yang lembut telah memanggilku untuk segera berkumpul di ruang keluarga. Kulewati beberapa bangku yang berjajar di sekeliling meja kayu itu. Kusibakkan tirai kerang yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga. Hmm. Belum juga kulangkahkan kakiku ke ruang keluarga hidungku sudah dapat mencium aroma berbagai masakan lebaran yang kutunggu. Cepat-cepat kuhampiri sebuah meja di sudut kiri ruangan itu. Wow. Begitu banyak sajian hidangan lebaran terhidang di sana. Hampir-hampir tidak cukup meja kayu itu menampung begitu banyak makanan itu. Dari kiri ke kanan kulihat sambal goreng, opor ayam, rendang, sayur lodeh, sate kambing, sate ayam. Di pojok sekali sebaskom penuh lontong yang masih utuh dengan kulitnya menggunung. Tepat di sebelahnya, berjejer piring-piring besar yang sudah dikupas dan dipotong. Di pojok kanan sepiring besar ketupat tersedia. Agak ke kanan toples-toples kerupuk ikan, emping, dan bawang goreng telah terbuka tutupnya, menunggu untuk dicoba. Hanya satu yang kupikirkan. Masakan apa yang akan kucoba pertama…
Para kepala keluarga duduk di ruang tamu saling berbalas kata sambil sesekali menghisap rokok mereka. Dapat aku lihat asbak di atas meja ruang tamu tidak luput dari abu rokok mereka. Para ibu sibuk saling membantu menghangatkan ketupat dan masakan lainnya yang sudah disiapkan satu hari yang lalu. Sungguh akrab. Sesekali canda tawa terdengar riuh. Apalagi banyak warga-warga kecil(dibaca: anak-anak kecil) di sini. Tepatnya lima anak balita di sini. Walau tidak banyak yang dapat mereka lakukan. Akan tetapi tingkah mereka terkadang mengundang gelak tawa dari semua yang ada di sana. Sungguh menyenangkan dapat memulai hari dengan begitu banyak kebahagiaan di tengah orang-orang yang berbahagia.
Pagi pun tidak sudi kehilangan momen indah lebaran kali ini. Cuaca begitu cerah. Indah. Masih dapat kudengar kicauan burung-burung kecil yang menempati sangkar di salah satu batang pohon jambu di depan rumah. Suara percikan air terjun buatan di sebelah kanan rumah seperti instrumen alam yang menambah indahnya momen ini. Sesekali suara deru mobil terdengar mengeras dan kemudian mengecil lalu hilang bak alunan biola. Suara gesekan alas kaki beradu saat waktunya tiba untuk kami pergi ke masjid. Aku masih di sini sambil melihat kembali penampilanku di jendela terasku. Pagi ini begitu hijau. Tak hanya alam sekitarku yang masih asri. Hanya saja keluarga besar kami memakai baju yang sewarna, hijau toska. Inilah satu lagi yang jarang kualami di hari biasanya. Aku merasa hawa kekerabatan begitu kental. Seperti kami ini selalu bertemu setiap hari dan bercanda bersama.
Minal Aidin Wal Fa Idzin. Satu kalimat yang selalu menggema di telingaku saat ini. Satu kalimat yang selalu diucapkan mungkin oleh seluruh muslim di dunia untuk mulai meninggalkan tahun yang lama dan menyambut tahun yang baru. Aku di sini sekarang. Berada di sebuah rumah yang tidak terlalu besar namun teduh di tengah kota Semarang yang panasnya bukan main. Aku melepas lelah setelah hampir dua jam sejak pukul 06.30 pagi tadi berada di luar untuk sholat Id dan saling berkunjung ke sanak saudara dan tetangga.
Duduk di atas sebuah bangku plastik mungkin tidaklah terlalu nyaman seperti kursi sofa di rumahku. Namun, cukup nyaman untuk mensirnakan lelahku. Teras ini tidak terlalu luas. Mungkin hanya berukuran empat meter kali enam meter dengan lantai berkeramik hijau lembut. Hanya saja di sinilah momen terpenting itu terjadi. Aku dan keluargaku saling mengucapkan minal aidin wal fa idzin satu sama lain. Bangku yang aku duduki ini adalah bangku yang tadi nenekku duduki saat acara sungkem kami lakukan. Beliau duduk di sini tanpa ada yang menemani di sebelahnya. Kakek sudah tiada sejak tiga tahun lalu. Walaupun begitu masih dapat kulihat seberkas kebahagiaan dan senyum di wajah nenek yang renta. Secara bergilir kami sungkem pada beliau. Dimulai dari anak-anak nenek, termasuk papa. Kemudian dilanjut oleh para menantu, lalu kami cucu-cucunya. Sepintas hal ini tampak biasa. Aku hanya perlu berlutut dan mencium tangan nenekku itu. Tetapi aku merasakan hal yang lebih dari itu. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak dan mata ingin menangis. Saat kusentuh tangan keriput nenek, hal yang tidak biasa terbersit dipikiranku. Nenek begitu baik padaku. Apa aku masih sempat membalas kebaikannya pada waktunya nanti. Aku merasa jahat memikirkan itu. Saat nenek mencium keningku kubiarkan pikiran itu berlalu dengan sendirinya. Yang jelas semua bahagia dan akupun harus bahagia.
Kukembalikan pikiranku ke teras ini. Teras yang setiap sudutnya berdiri kokoh beraneka macam suplir yang indah. Kadang tegak tangkainya, kadang merunduk kekanan atau kekiri mengikuti tiupan angin. Mungkin inilah cara alam saling bersilahturahmi. Pikirku jahil. Berderet tanaman euporbhia dan kamboja mengelilingi setengah dari teras ini. Dari kananku hingga depanku, lalu dibatasi sebuah pot suplir. Bagian yang tak dibatasi euporbhia atau kamboja adalah tempat jalan masuk menuju ke ruang tamu. Hanya selebar satu setengah meter. Di sini tenang dan sejuk. Sangat signifikan dengan jalan raya di depan rumah ini yang panas dengan pasirnya yang bertebangan menyusuri setiap jengkal aspal kering itu. Di depanku berdiri kokoh sebuah pohon jambu batu yang sudah tua. Tahun lalu saat aku ke sini pohon ini sedang berbuah. Namun tidak untuk tahun ini. Setiap alur di batangnya makin menunjukkan betapa tua umurnya. Dahannya bercabang tiga di atas, membuatnya seperti manusia besar yang mengadahkan tangan menyapa yang kuasa. Daun-daunnya yang besar sesekali jatuh menjatuhi jalan berbatu dan euphorbia di bawahnya. Batangnya yang kokoh berongga-rongga menjadi rumah semut-semut merah yang dari tadi berbaris menyusuri pohon jambu batu yang tua.
Aku menundukkan wajahku. Kulihat jalanan berbatu itu tidak lagi sama seperti saat pertama kali kulihat. Batu-batu yang disusun sendiri oleh almarhum kakek saat beliau masih sehat walafiat. Sekarang batu- batu kecil yang tersusun rapi itu telah menyatu dengan lumut-lumut hijau yang lembut. Terlebih lagi di batu-batu yang paling ujung dekat tembok itu. Tempat sebuah pancuran kecil mengairi kolam yang lebih rendah darinya. Bau lumut dan air begitu terasa. Rindangnya pohon membuat lumut menjadi mendapatkan kebebasannya. Percikan air di kolam semakin menyemarakkan suasana.
Aku berlalu masuk ke pintu menuju ruang tamu di sebelah kiri terasku. Ku temukan makanan-makanan kecil tersaji rapi di dalam toples-toples kaca yang lucu dengan tutup berwarna emas berpita di atasnya. Sepintas kulihat kacang mede kesukaanku tersaji di antara toples-toples itu. Ingin kucicipi namun suara ibu yang lembut telah memanggilku untuk segera berkumpul di ruang keluarga. Kulewati beberapa bangku yang berjajar di sekeliling meja kayu itu. Kusibakkan tirai kerang yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga. Hmm. Belum juga kulangkahkan kakiku ke ruang keluarga hidungku sudah dapat mencium aroma berbagai masakan lebaran yang kutunggu. Cepat-cepat kuhampiri sebuah meja di sudut kiri ruangan itu. Wow. Begitu banyak sajian hidangan lebaran terhidang di sana. Hampir-hampir tidak cukup meja kayu itu menampung begitu banyak makanan itu. Dari kiri ke kanan kulihat sambal goreng, opor ayam, rendang, sayur lodeh, sate kambing, sate ayam. Di pojok sekali sebaskom penuh lontong yang masih utuh dengan kulitnya menggunung. Tepat di sebelahnya, berjejer piring-piring besar yang sudah dikupas dan dipotong. Di pojok kanan sepiring besar ketupat tersedia. Agak ke kanan toples-toples kerupuk ikan, emping, dan bawang goreng telah terbuka tutupnya, menunggu untuk dicoba. Hanya satu yang kupikirkan. Masakan apa yang akan kucoba pertama…
0 comment:
Post a Comment