Tahun 2010 perjudian dilegalkan. Mengapa tidak? Perjudian di Indonesia diatur dalam UU No 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Judi sendiri diartikan dalam Pasal 303 ayat (3) WvS (terjemahan Indonesia versi BPHN) sebagai “tiap – tiap permainan dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga pertaruhan lainnya.
“Yang membuat saya bertanya-tanya adalah kalimat “juga karena pemainnya terlatih atau lebih mahir”. Saya tidak tahu apakah Anda sependapat dengan saya bahwa kata “terlatih” dan “mahir” lebih cocok digunakan untuk sesuatu yang baik, dalam hal ini seperti permainan atau perlombaan. Lalu apakah itu berarti judi itu permainan atau perlombaan? UU No 7 Tahun 1974 pada pasal 1 menyatakan bahwa segala jenis perjudian dinyatakan sebagai kejahatan, untuk itu Pasal 542 WvS yang semula judi di jalanan umum dinyatakan sebagai pelanggaran telah berubah menjadi kejahatan dan Pasal 542 WvS diubah menjadi Pasal 303 bis WvS. Satu lagi yang menarik untuk disimak dalam pasal ini. Pasal di atas menyatakan bahwa segala judi di jalanan umum dinyatakan sebagai kejahatan. Apakah itu berarti perjudian yang terlokalisasi diperbolehkan? Jikalau dua pernyataan saya mengenai dua pasal di atas benar mestinya sudah cukup untuk saya mengatakan judi legal.
Akan tetapi tidak semudah itu permasalahannya. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak orang menghujat aksi perjudian dengan mengatasnamakan agama. Indonesia adalah negara yang berke-Tuhan-an sehingga segala peraturan memang diarahkan sesuai dengan ajaran agama. Sadarkah Anda selama ini kita begitu mudah mengadopsi pikiran-pikiran yang kadang hanya menjunjung kekolotan berpikir. Padahal ada sesuatu mendasar yang luput dari pemikiran. Indonesia memang negara berke-Tuhan-an (beragama). Namun, bukan sebagai negara Islam yang segala ajaran-ajarannya diambil dari Al-qur’an atau As-sunnah. Semenjak empat belas abad silam, agama Islam mengharamkan judi secara mutlak bagi pemeluk-pemeluknya. Bahkan dalam hukum Islam jika seorang muslim tertangkap sedang berjudi, maka ia akan menghadapi tuntutan pidana (uqubat), baik cambuk maupun penjara (ta'zir) oleh peradilan Islam. Meski demikian Islam sendiri menjamin dan melindungi hak-hak kaum minoritas di kalangan musim. Di Indonesia lima agama besar hidup dalam satu nafas Pancasila. Kebetulan saja agama Islam menjadi agama mayoritas sebab pemeluk agama Islam Indonesia memang banyak, bahkan terbesar di dunia. Mungkin karena hal ini maka peraturan atau undang-undang di negara kita pun turut mengadopsi peraturan dalam agama Islam. Salah satunya adalah pelarangan perjudian (QS. Al Maidah : 90).
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua agama melarang adanya perjudian? Nyatanya tidak. Dalam agama Khatolik perjudian tidak dilarang meskipun juga tidak secara khusus dianjurkan. Khatolik sedikit mengenal haram dan dari sekian yang sedikit itu, judi tidak termasuk. (Franz Magis Suseno mengomentari surat pembaca Romo Alfons S. Suhardi dalam Suara Pembaruan, sebagaimana dimuat majalah Tempo, 23 Nopember 1991). Tidak ada pelarangan judi dalam Khatolik karena dalam Kitab Suci tidak ada acuan yang eksplisit, begitu pula dalam teologis. (Jawaban tertulis Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) kepada majalah Tempo perihal SDSB. Tempo, 23 Nopember 1991).
Lalu mengapa mereka yang bukan agama Islam juga dibatasi untuk berjudi? Apakah ini sebagai bentuk toleransi beragama seperti yang terdapat pada sila pertama? Menurut saya tidak. Itu adalah satu bentuk pengekangan hak secara implisit. Secara historis, Indonesia adalah negara yang merdeka atas perjuangan berbagai pihak dengan latar belakang daerah dan agama yang berbeda sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa semua kalangan itu berhak mendapat kebebasan yang sama. Apakah tidak lebih baik pelarangan perjudian hanya untuk kalangan agama tertentu yang memang melarangnya? Dengan begitu pemeluk agama lain tidak akan terkekang kebebasannya. Indonesia sebaiknya tidak melupakan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang majemuk. Sudah saatnya umat Islam Indonesia mau terbuka, berpikir dewasa, dan belajar dari bangsa yang lain. Pada dasarnya kita tidak hidup sendirian di negara ini. Kita memiliki kelompok minoritas di luar agama kita. Oleh karena itu, tidak mungkin berpikiran seperti umat Islam di Semenanjung Arab yang notabene semua penduduknya Islam sehingga mereka dapat menerapkan ajaran Islam secara murni.
Lalu apa yang harus diperbaiki dari peraturan yang sudah ada? Pastilah jawabannya pelegalan perjudian di bumi pertiwi dengan membuat suatu lokalisasi perjudian di pulau tertentu. Pasti banyak orang yang tidak menyetujui hal ini. Saya juga menduga bahwa alasan yang diberikan pasti tidak jauh dari masalah agama dan sosial. Maka saya kembali lagi ingin menekankan bahwa Indonesia terdiri atas lima agama dan tidak semua agama melarang perjudian. Maka saatnya Islam memilih apa yang sebaiknya dilakukan. Apakah pantas Islam menjadi egois terhadap hak penganut lain hanya karena mereka berbeda prinsip? Saya pikir Islam tidak sekolot itu.
Kembali lagi ke pelokalisasian perjudian di bumi pertiwi. Sejak jaman ORBA pemberantasan perjudian berikut paket undang-undangnya sudah digembor-gemborkan. Namun kenyataannya pemerintahan malah melegalkan permainan-permainan yang mengarah pada perjudian seperti NALO, TSSB, KSOB, PORKAS, terakhir SDSB. Jadi, memang sejak awal pemerintah menyadari betul keuntungan dari perjudian. Hanya saja pemerintah tidak akan berani membolehkan itu secara hukum karena massa Islam yang banyak. Dan mereka tidak akan mau dicap sebagai perusak moral bangsa. Saya sendiri tidak yakin perjudian itu merusak moral bangsa. Membiarkan suap menyuap dalam institusi pendidikan lebih cocok dikatakan sebagai perusak moral tetapi mengapa tidak ada tindakan tegas dari pemerintah? Sebaiknya hal-hal seperti itu harus lebih dipikirkan. Lebih jauh lagi jika ditelaah, lokalisasi perjudian berguna untuk mempersempit ruang perjudian ke daerah pemukiman seperti yang terjadi sekarang ini. Perjudian yang terselubung akan berdampak lebih besar. Dalam kaidah fikih Islam "jika ada dua bahaya, maka harus diambil salah satu bahaya yang beresiko kecil", "Menolak bahaya harus didahulukan, daripada mengambil manfaat".
Bahkan ide lokalisasi perjudian sempat muncul dari mantan Gubernur DKI Sutiyoso dan disetujui oleh Bupati Kepulauan Seribu dengan menyiapkan 36 pulau untuk dipilih yang paling cocok. Lokalisasi perjudian juga pernah dilakukan di Pulau Seribu pada jaman Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI. Dari perjudian ini mengalirlah dana pajak yang digunakan untuk membangun Jakarta. Masjid Istiqlal juga dibangun jaman Ali Sadikin juga dari hasil judi. Jika Islam mengharamkan semua uang dari perjudian, mengapa masih tetap membanggakan Istiqlal sebagai masjid terbesar di Jakarta? Hal itu perlu menjadi refleksi umat Islam semua. Dapat dibayangkan betapa cepat dana mengalir dari perjudian yang terlokalisasi itu. Sebuah pulau kecil di Utara Jawa mampu membiayai sebuah ibukota negara yang sedang dalam perbangunan. Apakah bukti itu kurang untuk cukup mengatakan Indonesia yang terseret-seret antara kemiskinan dan hutang butuh lokalisasi seperti itu lagi?
Sebenarnya saya enggan mengambil Malaysia sebagai contoh, namun memang kita patutnya berkaca pada Malaysia. Malaysia lebih ekstrem dari Indonesia dalam penerapan ajaran Islam, namun mereka memiliki Genting Highland sebagai tempat lokalisasi perjudian. Hasilnya? Sebagai negara yang lebih muda dari Indonesia mereka malah lebih maju. Toh, Mesir yang mempunyai Universitas Al-Azhar (dan banyak orang Indonesia yang belajar Islam di sana) saja punya lokalisasi perjudian sendiri.
Jika masih saja ada yang mempermasalahkan hukum di sini, mari kita lihat bagaimana kerja aparat dalam menegakkan pelarangan judi di Indonesia? Nyatanya aparatpun kewalahan melakukannya atau lebih tepatnya malah seakan membiarkan itu terjadi karena pasal yang mereka buat saja ambigu. Penegak hukum tidak berdaya jika para pengelola perjudian atau pemain judi telah mengantongi izin dari pemerintah. Undang-undang 'hanya' melarang perjudian yang tanpa izin. Jadi, selama ketentuan Pasal 303 dan 303 KUHP di atas hanya melarang judi tanpa izin, dan tidak melarang segala bentuk judi, maka secara yuridis penegak hukum akan mengalami kesulitan memberantas perjudian.
Lagipula negara ini butuh suntikan dana yang sangat besar. Bahkan karenanya, bayi yang baru lahir saja sudah memiliki beban hutang luar negeri mencapai angka milyaran. Apakah kita mau terus menerus berhutang dengan negara lain? Berhutang sama saja kita telah menyediakan lebih banyak hak pada negara pemberi hutang itu. Hasilnya kita akan merasa berhutang budi dengan negara tersebut. Kemandirian kita secara tidak langsung telah dirampas. Jadi, untuk mendapatkan dana dari luar tanpa mempunyai hutang budi perlu adanya legalisasi perjudian.
Mungkin orang akan berpikir bahwa manfaat judi untuk bidang ekonomi tidak seberapa besar dibandingkan dampaknya untuk moral dan sosial bangsa ini. Sekarang mari kita pikirkan bersama. Genting Highland Malaysia menghasilkan milyaran tiap minggunya. Dengan menyamakan aliran dana itu, lokalisasi perjudian selama setahun mungkin akan memberikan dana pembangunan untuk melunasi hutang luar negeri bahkan untuk pembangunan selama lima tahun ke depan. Terbebas dari hutang, pemerintah dapat lebih memikirkan pembangunan negara. Jika saja pembangunan telah tercapai dengan dana perjudian itu berarti pemerintah dapat langsung memberikan perhatiannnya untuk kelayakan hidup warganya. Subsidi bahan bakar dan bahan makanan bukan lagi sebuah mimpi. Dengan tercapainya masyarakat yang layak dalam pangan, sandang, dan papnnya saya yakin tingkat kriminal akan menurun drastis. Kehidupan moral pun akan meningkat dengan sendirinya. apakah akan berhenti cukup disana? Tidak. Pemerintah dapat saja meningkatkan mutu SDM dengan sekolah gratis dan balai-balai latihan kerja. Dengan mutu SDM yang tinggi maka kenyataan menjadi negara maju sudah di depan mata. Satu lagi yang perlu ditekankan bahwa yang mendapat keuntungan disini adalah SELURUH rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Sadarkah anda bahwa Indonesia terpuruk dari segala tindakan amoral tidak lain karena faktor ekonomi. Lalu mengapa tidak kita perbaiki dari akar permasalahannya. Untuk mencapai itu tentu saja harus ada yang diperjuangkan. Perjuangan itu adalah menyingkirkan kemunafikan dan keegoisan kita menghadapi realita bangsa ini. Toh, tanpa dilegalkan pun perjudian masih dan telah merajalela. Tanpa kita sadari pertukaran uang dari judi beredar tidak terkendali. Apakah tidak lebih baik pemerintah dapat memantau perjudian itu daripada harus main petak umpet dan akhirnya pemerintah tidak dapat apa-apa. Dapat saja pemerintah memberi peraturan tambahan agar penjudi yang ingin berjudi di lokasi tersebut harus menyiapkan setengah dari dana judi untuk dimasukkan kas negara alih-alih untuk ijin. Dengan begitu orang Indonesia dengan keterbatasan dana akan berpikir dua kali untuk berjudi sehingga mencegah adanya kerugian bagi individu itu sendiri.
Secara konsep memang lebih baik tidak ada perjudian dari pada ada perjudian, atau secara des sollen dalam konsep ekonomi. Namun secara des sein, apabila pada kenyataannya pemerintah memang tidak mampu mencegah atau menekan serendah-rendahnya kegiatan perjudian, dan jika dengan melegalkan perjudian dengan syarat-syarat dapat mengurangi transaksi perjudian, maka lebih baik dilegalkan.
Kesimpulannya legalisasi perjudian memang sangat dibutuhkan negara ini untuk perbaikan di segala aspek, tidak hanya untuk perbaikan ekonomi tetapi juga merambah untuk perbaikan moral Indonesia ke depan.
Note: Karya tulis ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia pada tahun 2009. Sayangnya, beberapa sumber yang dijadikan referensi tidak dapat ditemukan kembali.
Image credit: completemarketingsystems.com
“Yang membuat saya bertanya-tanya adalah kalimat “juga karena pemainnya terlatih atau lebih mahir”. Saya tidak tahu apakah Anda sependapat dengan saya bahwa kata “terlatih” dan “mahir” lebih cocok digunakan untuk sesuatu yang baik, dalam hal ini seperti permainan atau perlombaan. Lalu apakah itu berarti judi itu permainan atau perlombaan? UU No 7 Tahun 1974 pada pasal 1 menyatakan bahwa segala jenis perjudian dinyatakan sebagai kejahatan, untuk itu Pasal 542 WvS yang semula judi di jalanan umum dinyatakan sebagai pelanggaran telah berubah menjadi kejahatan dan Pasal 542 WvS diubah menjadi Pasal 303 bis WvS. Satu lagi yang menarik untuk disimak dalam pasal ini. Pasal di atas menyatakan bahwa segala judi di jalanan umum dinyatakan sebagai kejahatan. Apakah itu berarti perjudian yang terlokalisasi diperbolehkan? Jikalau dua pernyataan saya mengenai dua pasal di atas benar mestinya sudah cukup untuk saya mengatakan judi legal.
Akan tetapi tidak semudah itu permasalahannya. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak orang menghujat aksi perjudian dengan mengatasnamakan agama. Indonesia adalah negara yang berke-Tuhan-an sehingga segala peraturan memang diarahkan sesuai dengan ajaran agama. Sadarkah Anda selama ini kita begitu mudah mengadopsi pikiran-pikiran yang kadang hanya menjunjung kekolotan berpikir. Padahal ada sesuatu mendasar yang luput dari pemikiran. Indonesia memang negara berke-Tuhan-an (beragama). Namun, bukan sebagai negara Islam yang segala ajaran-ajarannya diambil dari Al-qur’an atau As-sunnah. Semenjak empat belas abad silam, agama Islam mengharamkan judi secara mutlak bagi pemeluk-pemeluknya. Bahkan dalam hukum Islam jika seorang muslim tertangkap sedang berjudi, maka ia akan menghadapi tuntutan pidana (uqubat), baik cambuk maupun penjara (ta'zir) oleh peradilan Islam. Meski demikian Islam sendiri menjamin dan melindungi hak-hak kaum minoritas di kalangan musim. Di Indonesia lima agama besar hidup dalam satu nafas Pancasila. Kebetulan saja agama Islam menjadi agama mayoritas sebab pemeluk agama Islam Indonesia memang banyak, bahkan terbesar di dunia. Mungkin karena hal ini maka peraturan atau undang-undang di negara kita pun turut mengadopsi peraturan dalam agama Islam. Salah satunya adalah pelarangan perjudian (QS. Al Maidah : 90).
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua agama melarang adanya perjudian? Nyatanya tidak. Dalam agama Khatolik perjudian tidak dilarang meskipun juga tidak secara khusus dianjurkan. Khatolik sedikit mengenal haram dan dari sekian yang sedikit itu, judi tidak termasuk. (Franz Magis Suseno mengomentari surat pembaca Romo Alfons S. Suhardi dalam Suara Pembaruan, sebagaimana dimuat majalah Tempo, 23 Nopember 1991). Tidak ada pelarangan judi dalam Khatolik karena dalam Kitab Suci tidak ada acuan yang eksplisit, begitu pula dalam teologis. (Jawaban tertulis Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) kepada majalah Tempo perihal SDSB. Tempo, 23 Nopember 1991).
Lalu mengapa mereka yang bukan agama Islam juga dibatasi untuk berjudi? Apakah ini sebagai bentuk toleransi beragama seperti yang terdapat pada sila pertama? Menurut saya tidak. Itu adalah satu bentuk pengekangan hak secara implisit. Secara historis, Indonesia adalah negara yang merdeka atas perjuangan berbagai pihak dengan latar belakang daerah dan agama yang berbeda sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa semua kalangan itu berhak mendapat kebebasan yang sama. Apakah tidak lebih baik pelarangan perjudian hanya untuk kalangan agama tertentu yang memang melarangnya? Dengan begitu pemeluk agama lain tidak akan terkekang kebebasannya. Indonesia sebaiknya tidak melupakan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang majemuk. Sudah saatnya umat Islam Indonesia mau terbuka, berpikir dewasa, dan belajar dari bangsa yang lain. Pada dasarnya kita tidak hidup sendirian di negara ini. Kita memiliki kelompok minoritas di luar agama kita. Oleh karena itu, tidak mungkin berpikiran seperti umat Islam di Semenanjung Arab yang notabene semua penduduknya Islam sehingga mereka dapat menerapkan ajaran Islam secara murni.
Lalu apa yang harus diperbaiki dari peraturan yang sudah ada? Pastilah jawabannya pelegalan perjudian di bumi pertiwi dengan membuat suatu lokalisasi perjudian di pulau tertentu. Pasti banyak orang yang tidak menyetujui hal ini. Saya juga menduga bahwa alasan yang diberikan pasti tidak jauh dari masalah agama dan sosial. Maka saya kembali lagi ingin menekankan bahwa Indonesia terdiri atas lima agama dan tidak semua agama melarang perjudian. Maka saatnya Islam memilih apa yang sebaiknya dilakukan. Apakah pantas Islam menjadi egois terhadap hak penganut lain hanya karena mereka berbeda prinsip? Saya pikir Islam tidak sekolot itu.
Kembali lagi ke pelokalisasian perjudian di bumi pertiwi. Sejak jaman ORBA pemberantasan perjudian berikut paket undang-undangnya sudah digembor-gemborkan. Namun kenyataannya pemerintahan malah melegalkan permainan-permainan yang mengarah pada perjudian seperti NALO, TSSB, KSOB, PORKAS, terakhir SDSB. Jadi, memang sejak awal pemerintah menyadari betul keuntungan dari perjudian. Hanya saja pemerintah tidak akan berani membolehkan itu secara hukum karena massa Islam yang banyak. Dan mereka tidak akan mau dicap sebagai perusak moral bangsa. Saya sendiri tidak yakin perjudian itu merusak moral bangsa. Membiarkan suap menyuap dalam institusi pendidikan lebih cocok dikatakan sebagai perusak moral tetapi mengapa tidak ada tindakan tegas dari pemerintah? Sebaiknya hal-hal seperti itu harus lebih dipikirkan. Lebih jauh lagi jika ditelaah, lokalisasi perjudian berguna untuk mempersempit ruang perjudian ke daerah pemukiman seperti yang terjadi sekarang ini. Perjudian yang terselubung akan berdampak lebih besar. Dalam kaidah fikih Islam "jika ada dua bahaya, maka harus diambil salah satu bahaya yang beresiko kecil", "Menolak bahaya harus didahulukan, daripada mengambil manfaat".
Bahkan ide lokalisasi perjudian sempat muncul dari mantan Gubernur DKI Sutiyoso dan disetujui oleh Bupati Kepulauan Seribu dengan menyiapkan 36 pulau untuk dipilih yang paling cocok. Lokalisasi perjudian juga pernah dilakukan di Pulau Seribu pada jaman Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI. Dari perjudian ini mengalirlah dana pajak yang digunakan untuk membangun Jakarta. Masjid Istiqlal juga dibangun jaman Ali Sadikin juga dari hasil judi. Jika Islam mengharamkan semua uang dari perjudian, mengapa masih tetap membanggakan Istiqlal sebagai masjid terbesar di Jakarta? Hal itu perlu menjadi refleksi umat Islam semua. Dapat dibayangkan betapa cepat dana mengalir dari perjudian yang terlokalisasi itu. Sebuah pulau kecil di Utara Jawa mampu membiayai sebuah ibukota negara yang sedang dalam perbangunan. Apakah bukti itu kurang untuk cukup mengatakan Indonesia yang terseret-seret antara kemiskinan dan hutang butuh lokalisasi seperti itu lagi?
Sebenarnya saya enggan mengambil Malaysia sebagai contoh, namun memang kita patutnya berkaca pada Malaysia. Malaysia lebih ekstrem dari Indonesia dalam penerapan ajaran Islam, namun mereka memiliki Genting Highland sebagai tempat lokalisasi perjudian. Hasilnya? Sebagai negara yang lebih muda dari Indonesia mereka malah lebih maju. Toh, Mesir yang mempunyai Universitas Al-Azhar (dan banyak orang Indonesia yang belajar Islam di sana) saja punya lokalisasi perjudian sendiri.
Jika masih saja ada yang mempermasalahkan hukum di sini, mari kita lihat bagaimana kerja aparat dalam menegakkan pelarangan judi di Indonesia? Nyatanya aparatpun kewalahan melakukannya atau lebih tepatnya malah seakan membiarkan itu terjadi karena pasal yang mereka buat saja ambigu. Penegak hukum tidak berdaya jika para pengelola perjudian atau pemain judi telah mengantongi izin dari pemerintah. Undang-undang 'hanya' melarang perjudian yang tanpa izin. Jadi, selama ketentuan Pasal 303 dan 303 KUHP di atas hanya melarang judi tanpa izin, dan tidak melarang segala bentuk judi, maka secara yuridis penegak hukum akan mengalami kesulitan memberantas perjudian.
Lagipula negara ini butuh suntikan dana yang sangat besar. Bahkan karenanya, bayi yang baru lahir saja sudah memiliki beban hutang luar negeri mencapai angka milyaran. Apakah kita mau terus menerus berhutang dengan negara lain? Berhutang sama saja kita telah menyediakan lebih banyak hak pada negara pemberi hutang itu. Hasilnya kita akan merasa berhutang budi dengan negara tersebut. Kemandirian kita secara tidak langsung telah dirampas. Jadi, untuk mendapatkan dana dari luar tanpa mempunyai hutang budi perlu adanya legalisasi perjudian.
Mungkin orang akan berpikir bahwa manfaat judi untuk bidang ekonomi tidak seberapa besar dibandingkan dampaknya untuk moral dan sosial bangsa ini. Sekarang mari kita pikirkan bersama. Genting Highland Malaysia menghasilkan milyaran tiap minggunya. Dengan menyamakan aliran dana itu, lokalisasi perjudian selama setahun mungkin akan memberikan dana pembangunan untuk melunasi hutang luar negeri bahkan untuk pembangunan selama lima tahun ke depan. Terbebas dari hutang, pemerintah dapat lebih memikirkan pembangunan negara. Jika saja pembangunan telah tercapai dengan dana perjudian itu berarti pemerintah dapat langsung memberikan perhatiannnya untuk kelayakan hidup warganya. Subsidi bahan bakar dan bahan makanan bukan lagi sebuah mimpi. Dengan tercapainya masyarakat yang layak dalam pangan, sandang, dan papnnya saya yakin tingkat kriminal akan menurun drastis. Kehidupan moral pun akan meningkat dengan sendirinya. apakah akan berhenti cukup disana? Tidak. Pemerintah dapat saja meningkatkan mutu SDM dengan sekolah gratis dan balai-balai latihan kerja. Dengan mutu SDM yang tinggi maka kenyataan menjadi negara maju sudah di depan mata. Satu lagi yang perlu ditekankan bahwa yang mendapat keuntungan disini adalah SELURUH rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Sadarkah anda bahwa Indonesia terpuruk dari segala tindakan amoral tidak lain karena faktor ekonomi. Lalu mengapa tidak kita perbaiki dari akar permasalahannya. Untuk mencapai itu tentu saja harus ada yang diperjuangkan. Perjuangan itu adalah menyingkirkan kemunafikan dan keegoisan kita menghadapi realita bangsa ini. Toh, tanpa dilegalkan pun perjudian masih dan telah merajalela. Tanpa kita sadari pertukaran uang dari judi beredar tidak terkendali. Apakah tidak lebih baik pemerintah dapat memantau perjudian itu daripada harus main petak umpet dan akhirnya pemerintah tidak dapat apa-apa. Dapat saja pemerintah memberi peraturan tambahan agar penjudi yang ingin berjudi di lokasi tersebut harus menyiapkan setengah dari dana judi untuk dimasukkan kas negara alih-alih untuk ijin. Dengan begitu orang Indonesia dengan keterbatasan dana akan berpikir dua kali untuk berjudi sehingga mencegah adanya kerugian bagi individu itu sendiri.
Secara konsep memang lebih baik tidak ada perjudian dari pada ada perjudian, atau secara des sollen dalam konsep ekonomi. Namun secara des sein, apabila pada kenyataannya pemerintah memang tidak mampu mencegah atau menekan serendah-rendahnya kegiatan perjudian, dan jika dengan melegalkan perjudian dengan syarat-syarat dapat mengurangi transaksi perjudian, maka lebih baik dilegalkan.
Kesimpulannya legalisasi perjudian memang sangat dibutuhkan negara ini untuk perbaikan di segala aspek, tidak hanya untuk perbaikan ekonomi tetapi juga merambah untuk perbaikan moral Indonesia ke depan.
Note: Karya tulis ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia pada tahun 2009. Sayangnya, beberapa sumber yang dijadikan referensi tidak dapat ditemukan kembali.
Image credit: completemarketingsystems.com