Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca sebuah artikel menarik berjudul “Bisnis Orang Kuat di Tangan Si Kecil” di Harian Kompas, 8 April 2010. Artikel tersebut menguak bagaimana orang-orang kecil - yang uang hasil kerjanya hanya cukup untuk makan saja- di Jakarta mampu memberikan atasannya masukan hingga Rp. 300.000,00 per hari dengan menjadi tukang parkir. Tidak disangka sebuah pekerjaan yang selama ini dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang ternyata mampu memberikan masukan hingga 20 miliar dalam setahun untuk negara.
Mungkin Anda yang baru mengetahui hal ini akan terkejut melihat sebuah pekerjaan yang nyaris tanpa modal dan keahlian mampu menghasilkan uang dalam jumlah yang fantastis. Akan tetapi, angka itu seharusnya dapat mencapai tujuh kali lipatnya atau bahkan lebih. Kenyataan ini yang dikuak oleh penulis berdasarkan survei langsung di berbagai lahan parkir dan data Unit Pelaksanaan Teknis Perparkiran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dari survei tersebut diketahui bahwa rata – rata pendapatan lahan parkir sepanjang 15 meter menghasilkan Rp 400.000,00 per harinya. Dari seluruh pendapatan itu hanya Rp. 50.000,00 yang masuk ke dalam kas negara. Sebagian besar sisanya sebanyak Rp 300.000,00 akan dibayarkan pada “koordinator” tukang parkir. Akhirnya tukang parkir hanya mendapat sekitar Rp. 50.000,00.
Hal itu sangat menarik untuk diperbincangkan, hanya saja saya ingin melihat hal itu bukan lagi dari sudut pandang tukang parkir tetapi dari sudut pandang pengguna jalan. Saya beralih ke kota Yogyakarta yang penuh dengan lahan parkir liar di sepanjang jalan. Melihat kenyataan Yogyakarta hampir sama ramainya dengan Jakarta, saya berasumsi pendapatan parkir di Yogyakarta sama dengan di Jakarta. Yang menjadi pertanyaan saya adalah mengapa biaya parkir yang ditanggung pengguna jalan masih begitu mahal sedangkan biaya yang masuk ke negarapun sebenarnya hanya sedikit. Lalu untuk apa dan kemana sebenarnya biaya parkir itu? Toh, kebanyakan lahan parkir di Yogyakarta pun sebenarnya bukan khusus lahan parkir melainkan bahu jalan umum.
Sebaiknya, pemerintah Yogyakarta merefleksikan kembali aturan perparkiran di kota ini. Akan sangat disayangkan lahan parkir yang nyatanya mengganggu aktivitas jalan raya dan lagi tidak memberikan masukan yang selayaknya didapatkan negara dibiarkan begitu saja. Yang terpenting adalah jangan biarkan Kota Seni Yogyakarta dicemari pula oleh Seni Korupsi Jalanan!
Image credit: tribunnews.com
Mungkin Anda yang baru mengetahui hal ini akan terkejut melihat sebuah pekerjaan yang nyaris tanpa modal dan keahlian mampu menghasilkan uang dalam jumlah yang fantastis. Akan tetapi, angka itu seharusnya dapat mencapai tujuh kali lipatnya atau bahkan lebih. Kenyataan ini yang dikuak oleh penulis berdasarkan survei langsung di berbagai lahan parkir dan data Unit Pelaksanaan Teknis Perparkiran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dari survei tersebut diketahui bahwa rata – rata pendapatan lahan parkir sepanjang 15 meter menghasilkan Rp 400.000,00 per harinya. Dari seluruh pendapatan itu hanya Rp. 50.000,00 yang masuk ke dalam kas negara. Sebagian besar sisanya sebanyak Rp 300.000,00 akan dibayarkan pada “koordinator” tukang parkir. Akhirnya tukang parkir hanya mendapat sekitar Rp. 50.000,00.
Hal itu sangat menarik untuk diperbincangkan, hanya saja saya ingin melihat hal itu bukan lagi dari sudut pandang tukang parkir tetapi dari sudut pandang pengguna jalan. Saya beralih ke kota Yogyakarta yang penuh dengan lahan parkir liar di sepanjang jalan. Melihat kenyataan Yogyakarta hampir sama ramainya dengan Jakarta, saya berasumsi pendapatan parkir di Yogyakarta sama dengan di Jakarta. Yang menjadi pertanyaan saya adalah mengapa biaya parkir yang ditanggung pengguna jalan masih begitu mahal sedangkan biaya yang masuk ke negarapun sebenarnya hanya sedikit. Lalu untuk apa dan kemana sebenarnya biaya parkir itu? Toh, kebanyakan lahan parkir di Yogyakarta pun sebenarnya bukan khusus lahan parkir melainkan bahu jalan umum.
Sebaiknya, pemerintah Yogyakarta merefleksikan kembali aturan perparkiran di kota ini. Akan sangat disayangkan lahan parkir yang nyatanya mengganggu aktivitas jalan raya dan lagi tidak memberikan masukan yang selayaknya didapatkan negara dibiarkan begitu saja. Yang terpenting adalah jangan biarkan Kota Seni Yogyakarta dicemari pula oleh Seni Korupsi Jalanan!
Image credit: tribunnews.com
0 comment:
Post a Comment